Sabtu, 03 Agustus 2013

Mata Untuk Devito *Part 2*


“Dinda juga ga tau, Oma. Tadi, waktu kita lagi di mall, Devta pucet, dan Dinda ngajak dia pulang, tapi tiba-tiba pas sampe di basement, Devta pingsan. Dinda langsung bawa dia ke sini...” tutur Dinda.
“Semoga Devta baik-baik aja. Dia ga pernah kayak gini sebelumnya...”ucap Oma lirih.
“Iya Oma. Oya, Devito ga ikut?”tanya Dinda.
Tatapan mata Oma yang semula sayu, menjadi makin sayu mendengar pertanyaan Dinda. “Kamu tau sendiri, Devito seperti apa sekarang. Dia ga mau peduli lagi pada kakaknya...”
“Oma yang sabar ya, Dinda yakin, Devito pasti kembali. Dan dia pasti bisa ngeliat lagi.”ujar Dinda, mencoba membesarkan hati Oma.
“Permisi, keluarga Devta Darmawan?”suara berat dan berwibawa memecah suasana sendu di antara Dinda dan Oma Devta.
“Saya Omanya Dok, bagaimana keadaan cucu saya?” tanya Oma.
“Sebaiknya, kita bicara di ruangan saya saja.”jawab Dokter itu.
“Baik, Dinda kamu tunggu di sini ya, sayang.” kata Oma kepada Dinda.
“Iya Oma.”

Sebenarnya, Dinda diselimuti oleh rasa ingin tau akan keadaan Devta . Namun, ia hanya bisa menaati perkataan Oma. Omapun mengikuti dokter yang ber-name tag ‘Rio’ itu menuju ruangannya. Setelah Dokter Rio membukakan pintu, Oma pun masuk dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Dokter Rio. Oma menunggu Dokter Rio berbicara. Dan setelah menghirup nafas cukup panjang, Dokter Rio pun berbicara, tatapan matanya cukup serius.

“Begini Ibu, ...” “Panggil saya, Oma saja, Dok.”potong Oma cepat.
“Baik Oma, saya ingin bertanya satu hal. Apakah Devta punya riwayat mengalami gegar otak ringan dulu?” tanya Dokter Rio.
Oma tampak berpikir keras. Lalu tiba-tiba beliau seperti mengingat sesuatu. “Iya, Dok, sewaktu ia masih umur sepuluh tahun, ia sempat terjatuh dari rumah pohonnya dan mengalami gegar otak ringan. Lalu, kenapa Dok?”
“Saya merasa, kejadian pingsannya Devta hari ini, merupakan efek dari gegar otak yang pernah ia alami dulu. Dan, ini bukan efek yang pertama kali Devta rasakan.”ucap Dokter Rio.
“Maksud Dokter?”tanya Oma.
“Dia sering mengalami pusing seperti ini, tapi tidak sampai pingsan. Dan saya rasa, Devta mengabaikan hal itu.”jawab Dokter Joe.
“Dia memang sering mengeluh kalau dia pusing, Tapi dia juga selalu berkata, hanya minum obat sakit kepala biasa sudah reda. Apa pusing yang dialami Devta itu serius, Dok?” tanya Oma.
“Iya, sangat serius. Saya mendiagnosis adanya penyumbatan darah di otak Devta, dan itu bisa berdampak fatal bagi dirinya. Tetapi, sebelum memastikan hal itu, saya harus melakukan CT-Scan terhadapnya.”
“Lakukan apapun yang terbaik buat cucu saya, Dok.”suruh Oma cepat.

Dokter Rio mengangguk, Ia mengambil telepon genggam di atas mejanya lalu menghubungi suster di resepsionis untuk menyiapkan ruang CT-Scan dan juga untuk membawa Devta menuju ruangan itu. Omapun pergi ke administrasi untuk menyelesaikan biaya sebelum menghampiri Dinda.

Setelah tahu Devta tiba-tiba dibawa begitu saja, Dinda pun menghampiri Oma yang duduk di depan ruang CT-Scan. Dindaa menepuk bahu Oma lembut yang membuat Oma mendongak. Sekilas, Dinda bisa melihat bahwa Devta tidak baik-baik saja. Tapi Oma tetap tersenyum namun getir.

“Oma, Devta baik-baik aja kan?” tanya Dinda.
“Entahlah, DInda. Dokter bilang, kemungkinan ada penyumbatan di otak Devta, dan itu bisa berakibat fatal bagi dirinya. Dan CT-Scan ini dilakukan untuk memastikannya.” jawab Oma.

Dinda sontak menutup mulutnya dengan tangannya, ia sungguh terkejut akan perkataan Oma. Selama ini, Devta baik-baik saja, kenapa tiba-tiba bisa mengalami begini. Tanpa disadari, sebutir air bening mengalir di pipinya. Dinda pun memeluk Oma, mencoba menguatkan Oma dan juga menguatkan dirinya sendiri, tentunya.

***

Semua ucapan Dokter Rio waktu itu benar. Devta memang mengalami penyumbatan darah di otak. Dan hingga saat ini, Devta masih koma. Selama itu juga, Dinda selalu setia menunggui Devta sampai melupakan jadwal kuliahnya sendiri. Oma memang sudah berulang kali menyuruh Devta untuk pulang dan kuliah, namun Dinda bersikeras untuk tetap menunggui Devta hingga sadar.

Seperti hari ini, ia masih berada di sisi Devta. Menunggu pemuda itu terbangun dari tidur panjangnya. Dinda menggenggam tangan Devta dengan erat. Tak terasa, butir demi butir air mata mampu membuat sungai di pipinya. Dinda mencium tangan Devta.

“Dev, bangun dev, kamu inget kan lusa ulang taun Devito Kamu kan mau ngasih topi itu buat dia, Dev.” pinta Dinda lirih.

Dinda membenamkan wajahnya ke kasur tempat Devta berbaring. Tetesan air matanya kian menderas. Tiba-tiba, Dinda merasa sebuah gerakan dari tangan Devta yang saat itu ia genggam. Dinda mendongak dan mendapati Devta yang mulai mengerjapkan matanya, Devta sadar. Dinda segera memencet bel di atas meja.

“Diiin” ucanya dengan susah karena masih memakai masker oksigen.
“Iya Dev, ada yang sakit?” tanya Dinda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar