Minggu, 04 Agustus 2013

Mata Untuk Devito :') *Akhir*


Devta melepas masker oksigennya dengan lemah. Tepat saat itu, Dokter Rio dan beberapa suster memasuki ruangan Devta. Dinda pun berdiri dan perlahan menyingkir dari sisi Devta untuk memberi kesempatan kepada Dokter Rio untuk memeriksa keadaan Devta.

“Syukurlah kamu sudah sadar, dan kondisi kamu saat ini cukup stabil. Banyak-banyak istirahat ya Devta. Saya permisi dulu.” tutur Dokter Rio.
“Iya Dok.” jawab Devta lemah.

Dokter Rio tersenyum. Ia lalu berjalan keluar bersama suster-susternya. Selepas, peninggal Dokter Rio, Dinda kembali mendekati Devta. ia tersenyum senang. Akhirnya setelah lama Devta tertidur, akhirnya ia pun bangun dengan kondisi tubuh yang baik dan stabil.

“Din, Oma mana?”
“Oma lagi istirahat di rumah. Beliau kecapekan nungguin kamu semaleman. Kamu mimpi apa sih, kok tidurnya lama banget?”gurau Dinda.
“Aku ketemu Bunda, Din. Bunda cantiiiik banget...” jawab Devta, suaranya terdengar bergetar.

Dinda terdiam, Ia tak tau harus bicara apa saat ini. Sampai akhirnya, pintu ruang rawatpun kembali terbuka yang kini menampilkan sosok Oma dengan baju batiknya, yang membuat Oma semakin terlihat anggun. Oma tersenyum melihat Devta yang sudah terbangun dan berbicara dengan Dinda, walaupun beliau tidak tau apa yang sedang mereka bicarakan.

“Akhirnya kamu sadar juga sayang.” ujar Oma.
“Oma, Devta ingin mendonorkan mata Devta buat Devito.” kata Devta tiba-tiba dan membuat seisi ruangan itu terkejut.
“Dev! Kamu jangan gila!” pekik Dinda marah.
“Devta mohon Oma. Anggep saja ini adalah permintaan terakhir Devta..” ujarnya lagi.
“Dev! Tolong kamu jangan ngomong gitu!”pinta Dinda.
“Dinda please, shut up!” bentak Devta.

Dinda pun terdiam, Devta menatap Omanya dengan penuh harap. Oma masih terdiam dan tampak berpikir keras. Lalu, sedetik kemudian Oma tampak menggeleng. Mata beliau berkaca-kaca. Devta mendenguskan nafasnya, kesal.

“Devta mohon Oma, Devta lelah, Devta pengen sama Bunda di sana. Devta pengen sebelum pergi, Devta masih bisa menebus kesalahan Devta ke Devito. Devta mohon Oma...”pintanya sekali lagi.
Kini giliran Oma yang menghembuskan nafasnya. “Baik, Oma akan menuruti permintaan kamu.”
“Oma... ”sela Dinda.
“Tapi kamu harus janji sama Oma, sama Dinda juga, Kamu ga akan kemana-mana, kamu akan tetap di sini.” lanjut Oma tanpa mempedulikan Dinda.
“Oma... ”ujar Dinda lagi.
“Untuk itu, Oke Devta janji. Devta akan tetap di sini.”

***

Setelah mendapatkan persetujuan dari Dokter Rio, Devta pun bisa mengikuti operasi mata untuk mendonorkan matanya untuk Devito. Devito sendiri meskipun tak berbicara, tapi semua orang tau bahwa ia cukup bahagia mendengar bahwa telah ada donor mata yang cocok untuk dirinya. Meskipun ia tidak tau bahwa mata itu adalah milik kakaknya.

Operasi berjalan hampir lima jam. Dua jam pertama, saat pengambilan mata Devta, operasi berjalan lancar. Namun, saat mata Devta mulai dipindahkan ke Devito, detak jantungnya melemah. Dokter Rio yang bertugas memantau tubuh Devtapun segera bertindak cepat, sedangkan Dokter Iqbal, dokter mata rumah sakit ini, terus melakukan proses pendonoran pada Devito.

Jantung Devta kembali normal setelah berbagai usaha dilakukan oleh Dokter Rio, termasuk berdoa. Operasi pun selesai dengan lancar. Devito dan Devta, yang masih belum sadar akibat pengaruh bius, dipindahkan ke ruangan yang sama. Oma, Dinda, dan Ayah mereka, mengikuti ke mana mistar yang ditempati kedua pemuda itu didorong.

Mereka bertiga pun menunggui Devta dan Devito secara bersama-sama, meskipun Ayah lebih cenderung acuh pada kondisi Devta. Namun tiba-tiba, setelah satu jam mereka berdua dipindahkan, detak jantung Devta kembali melemah, kondisinya kritis. Dinda berlarian mencari Dokter Rio untuk segera memeriksa Devta.

“Mohon semuanya keluar dari ruangan, biarkan Dokter Rio memeriksa pasien.” suruh salah seorang suster rumah sakit.
“Tapi saya ayahnya, Sus!” bentak Ayah dengan suara khawatir.
“Tetap tidak boleh, Pak. Mohon pengertiannya ya.” jawab suster tersebut.
“Sudah Dharma, ayo kita keluar. Biarkan saja, mereka berdua juga butuh istirahat.”ujar Oma pada Ayah Dharma.

Ayahpun menurut dan berjalan lemas mendekati bangku di depan ruang rawat kedua putranya. Di dalam ruang rawat sendiri, Dokter Rio tampak kebingungan karena mendadak Devta menjadi kritis seperti ini. Setelah akhirnya, alat pendeteksi jantung Devta menunjukkan garis lurus, Dokter Riopun menggeleng, Devta sudah pergi.

Dokter Rio keluar dari ruangan dengan wajah muram. Ayah, Oma, dan Dinda segera mendekati Dokter Rio. Hati mereka bertiga jelas dipenuhi rasa ketakutan luar biasa saat melihat wajah muram Dokter Rio. Dan setelah Dokter Rio menghirup nafas dalam-dalam ia mulai berkata.

“Maaf, Devta .... Tidak bisa saya pertahankan lagi, Ia sudah pergi.” kata Dokter Rio.

Ayah tampak menggeleng keras, Matanya berkaca-kaca menahan tangis. Sedangkan Oma dan Dinda sudah menangis dengan keras. Hati mereka serasa dijatuhkan dari atas gedung pencakar langit. Mereka benar-benar tidak menyangka Devta akan pergi secepat ini.

Dinda berlari menerobos Dokter Rio memasuki ruangan Devta dan Devito. Ia menangis sejadi-jadinya sambil menggenggam tangan Devta yang mulai mendingin. Dinda membenamkan wajahnya ke tangan Devta. Tetesan air matanya menetesi tangan Devta dan membuat tangan pemuda itu basah.

“Devv! Kamu udah janji sama aku dan Oma, kamu ga akan pergi ke mana-mana. Tapi kenapa kamu melanggarnya? Kenapa, Dev?”ucap Dinda sambil terisak.

Dinda kembali menangis seusai berucap seperti itu. Beberapa saat kemudain, Ayah dan Oma masuk. Keduanya telah menangis dalam diam. Mereka sama-sama terpukul, tapi Ayahlah yang terlihat lebih terpukul. Beberapa kali, beliau tampak mengusap wajahnya frustasi.

“Maafin Ayah Dev, Sampai saat terakhirpun , Ayah tetep ga peduliin kamu. Maafin Ayah, Dev.”
“Mas Devta..” tiba-tiba terdengar suara gumaman dari belakang mereka bertiga. Ya, itu Devito.

Serentak mereka bertiga berbailk dan mendapati Devito yang sedang menggapai-nggapai angin. Setitik rasa lega merasuki hati mereka, tapi kemudian tergerus oleh rasa bimbang. Mereka bingung, apa yang harus mereka katakan pada Devito setelah ini.

“Ayah, Oma... Kalian di sini kan?” ujar Devito sedikit lebih keras.
Ayahpun mendekatinya dan mengusap rambut pemuda itu. “Iya sayang, Ayah di sini, Mas Devta juga.”
“Mas, Mas Devta jawab dong?” panggilnya, namun tak ada jawaban.

  Devito mengerut, Ia merasakan hatinya bergejolak. Ia juga merasa bahwa ada sesuatu yang buruk terjadi pada kakaknya itu. Devito tampak memutar kepalanya mencoba menatap wajah Ayah, walaupun sebenarnya ia masih belum bisa melihat karena matanya masih tertutup oleh perban.

“Yah, kenapa Mas Devta ga jawab ? Mas Devta baik-baik aja kan, yah?’
“Sini sayang, Ayah akan bantu kamu mendekati Mas Devta.” Ayah membantunya berdiri dan membawakan botol infus Devito.

Devito menurut saja sembari mengikuti langkah ayahnya, Vito mulai mendekati kakaknya yang mulai mendingin. Lalu Ayah meletakkan tangan Vito pada tangan Kakaknya. Namun, seketika itu juga tangan Vito terlepas. Ia cukup terkejut saat merasakan tangan Devta yang sangat dingin. Devito mengerutkan dahinya lagi.

“Kenapa tangan Mas Devta dingin? Ayah, Oma? Jawab Vito! Kenapa tangan Mas Devta dingin? Apaaa, Apa... ? ” Ia tidak melanjutkan perkataannya, karena kepalanya mendadak terasa pening.
“Devtaaa, dia sudah pergi To, dia udah tenang di sana.” kini Dinda mulai bersuara, walau suaranya masih terdengar parau.
“APAAA? Nggak, nggak mungkin. Mas Devta nggak mungkin pergi!! TIDAAAAAK!!!” Tiba-tiba setelah berkata seperti itu, Devito terjatuh lemas, Ia pingsan.

Kali ini bukan akibat bius. Dokter Iqbal, yang menangani Devito, masuk setelah dipanggil Oma. Sedangkan Devta sendiri telah diurus untuk dibawa pulang dan akan segera disemayamkan di rumah. Ayah dan Oma sepakat untuk memakamkan Devta setelah Devito membuka perban matanya, besok .

Esok siangnya, perban mata Devito sudah dilepas. Matanyapun bisa diterimanya dengan baik dan Devito bisa melihat. Namun kini, ia malah kembali terdiam dan membisu hingga Kakanya dimakamkan pada sore harinya. Ayah sudah mencoba banyak cara untuk mengajak Devito bicara, tapi tetap saja gagal. Akhirnya, Dindalah yang mencoba mengajaknya berbicara.

“To, Kamu harus kuat. Devta nggak akan pernah suka adik kecilnya kayak gini. Ngomong dong To.” ujar Dinda.

Devito menoleh pada Dinda, Ia memeluknya dengan erat. Beberapa saat kemudian, Dindaa merasakan bahunya basah. Ya, Devito menangis. “Kak, Vito nyesel belom sempet bilang apa-apa sama Mas Devta. Aku bodoh banget mutusin buat ngga bicara selama aku buta. Aku...” Devito tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

“Semuanya udah terjadi, nggak ada lagi yang perlu disesali To. Oya, sebelum Devta pingsan waktu itu, dia sempet beli ini buat kamu. Buat kado ulangtaun kamu. Maaf, Kakak baru sempet kasih sekarang.” ujar Dinda.

Devito melepas pelukannya dan menatap barang yang baru diserahkan Dinda. Dengan tatapan yang nanar dan memburam karena air matanya barusan, ia masih bisa melihat sebuah topi LA warna ungu yang selama ini diinginkannya. Dan itu, merupakan kado terakhir dari kakaknya. Air mata Devito kembali mengalir, tapi tangan Dinda mendekat dan menghapus air matanya.

“Heey, cowok tuh ga boleh cengeng. Nih pake! Oya, ada satu lagi, Ini kakak temuin di meja sebelah ranjang Devta.” kata Dinda sambil memakaikan topi itu dan menyodorkan secarik kertas padanya.

Devito menerima kertas itu dan membukanya, Hatinya pun terasa tertohok saat melihat titik-titik bekas air mata di kertas itu, Devitopun memulai membaca surat tersebut.

To My Little Brother

Arvigo Devito Dharmawan

Hey Vito, Apa kabar? Hihi, Mas basa-basi banget ya? Orang tiap hari juga ketemu. Hehehe :D, Mas tau kamu sekarang pasti seneeeeng banget setelah dapet mata itu. Mas juga seneng kok kamu bisa ngeliat lagi, Kamu bisa main basket lagi. Tapi, Mas minta maaf ya sama kamu, Karena Mas gak bisa ikut kamu main basket lagi, dan Mas juga gak bisa sama kamu lagi.

Kamu pasti inget kan, waktu Mas masuk rumah sakit dulu, yang gara-gara jatoh dari rumah pohon? Ternyata, efeknya muncul sekarang, dek. Dalam otak Mas, ternyata terjadi penyumbatan darah. Sebenarnya Mas udah tau hal ini dari setahun yang lalu, sebelum kecelakaan itu terjadi. Dan saat kecelakaan itu terjadi, alasan mengapa Mas kehilangan kendali atas mobil itu adalah karena sakit itu dateng, Dek. Rasanya saakit banget. Dan akhirnya semua terbongkar, setelah Mas pingsan di basement mall waktu itu.

Waktu Mas koma, mas koma selama seminggu, Dek. Kamu tau, waktu koma, Mas ketemu Bunda, dek. Bunda ngajak Mas buat ikut ke sana. Mas bilang aja iya, tapi Mas masih harus lakuin satu hal dulu. Mas mau nebus kesalahan mas ke kamu dulu, dek. Mas mau ngasih kamu kado terindah di hari ulang tahun kamu.
Maaf, Mas udah ngga bisa lagi ucapin ‘Happy Birthday’ ke kamu. Tapi untuk yang terakhir kalinya, “Happy Birthday Adekku”. Mas sayang banget sama kamu. Pesen Mas, jaga mata itu ya, awas kalo kamu bikin ‘mata itu’ nangis. Dan, Mas juga titip Kak Dinda ya, jagain dia dan pastikan, Kak Dinda nemuin pasangan yang bener-bener mau jaga dia dan sayang sama dia ya. Salamin ke dia juga, Mas sayang sama Kak Dinda.

Udah dulu ya, dek. Tangan Mas udah lemes banget. Untuk yang terakhir kali, Mas sayang kamu. Mas janji, akan selalu jagain kamu dari sini, sama Bunda.

With Love,

Devta Dharmawan


Devito terdiam, dan air matanya kembali mengalir. Lalu, Ia dengan cepat menutup matanya dan menghirup udara dan menghembuskannya selama beberapa kali hingga air matanya berhenti mengalir. Ia membuka matanya lagi dan menatap langit malam yang begitu indah karena dipenuhi bintang-bintang. Namun, ada dua bintang yang paling terang di antaranya. Ia yakin, itu adalah bintang bunda dan kakaknya.

“Aku janji mas, Aku pasti jaga mata ini, dan juga, jaga Kak Dinda buat Kakak.” gumamnya pelan, namun sangat tegas.

Sesaat kemudian, salah satu bintang yang paling terang itu, berkedip. Seakan membalas gumaman Devito barusan. Iavpun tersenyum lalu mulai berjanji pada dirinya untuk memulai hidup dengan baik dan kembali menjadi Devito yang dulu. Devito adik kecilnya Devta.


---THE END---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar