Sabtu, 14 Juni 2014

Kenangan dan Rinduku

              Cahaya keemasan matahari dan hembusan angin sore membuat daun-daun kecil berguguran di pinggir danau dan menyilaukan pandanganku pada secarik kertas di depanku. Hari-hariku terasa menyenangkan dengan sebuah kuas yang terukir namaku “Diana”. Yah, boleh dikatakan aku gemar melukis di tempat-tempat yang menurutku indah dan tenang. Apalagi dengan seorang sahabat, membuat hidupku lebih berarti.
               Dari kejauhan terdengar alunan biola nan merdu semakin mendekati gendang telingaku. Alunan merdu itu membuatku semakin penasaran.
               “Ya sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja”
               Dengan rasa penasaran, aku sambil mengemas peralatan lukisku dan mengendarau sepeda menyusuri jalan komplek rumahku yang berbukit dan rindangnya pepohonan sepanjang jalan di bawah cahaya mentari yang mulai redup.

* * *
Pulang petang menjadi hal yang biasa bagi Lintang. Seorang gadis tomboy berambut hitam panjang yang selalu di kuncir ke atas. Dia selalu bermain basket di bawah rumah pohonnya, letaknya di samping danau yang airnya tenang, setelah pulang dari les. Dengan mengusap keringat di pipinya dia bergegas menyusuri komplek rumahnya dengan perasaantakut karena selalu pulang telat.
Pada waktu yang bersamaan, Diana meletakkan sepedanya ke garasi dan melihat Lintang.
               “Lintang,, Lintang,, dari mana saja kamu? Aku mencarimu!" Kata Diana
               “Aku main basket di tempat biasa, di bawah rumah pohon. Ma’af, udah buatmu khawatir.”
               “Entahlah…. Sudah dulu ya, bau banget nih.
               “Huuhh,, dasar cewek gadungan, aku dicuekin lagi…! Kesal Diana
               Dengan rasa kesal, gadis itu pun masuk ke kamar khayalannya. Meletakkan peralatan lukisnya di sudut ruangan dekat lemari kaca yang penuh dengan boneka kucing dan patung kecil yang terbuat dari tanah liat. Ia selalu menatap lukisan sunset yang di belakang pintu kamarnya. Ketika melihat itu, ia merasakan tenangnya dunia di laut lepas.

* * *
               Lintang segera membersihkan dirinya karena takut ibunya marah. Ibunya pun heran melihat tingkah anak semata wayangnya itu. Sifat keras kepala Lintang yang biasanya tampak, namun kala itu hati tomboynya bisa luluh dengan rasa bersalahnya. Ketika ia duduk di atas kursi yang tinggi sambil mengamati indahnya malam. Tiba-tiba ia merasakan sakit pada badannya, perutnya nyeri dan nafasnya terasa sesak. Lintang bingung dengan apa yang dia rasakan dan tiba-tiba ia terjatuh dari kursi tingginya, mencoba mengendalikan diri untuk bangkit ke tempat tidur dan beristirahat.

* * *
               Teriknya mentari dan angin sepoi-sepoi yang dirasakan di bawah pohon nan rindang, membuat siswi SMA ini hanyut dalam omajinasi. Khayalan yang sungguh nyata membawa ia larut dalam impian.
               “Hai Diana, asyik bener nih melukisnya, lihat dong. Pasti lagi gambar aku kan? Kejut Lintang
               “Hmm,, ngapain juga aku gambar kamu. Seperti gak ada objek lain aja yang lebih bagus.. hahahha..
               Mereka begitu asyik bercanda tanpa menghiraukan teman yang lain di sekitarnya yang merasa kebisingan karena tingkah mereka yang sungguh beda dengan siswi lainnya. Dan anak-anak yang lain sebaliknya sudah merasa biasa dengan sikap mereka itu.
               “Aku mau cerita..tapi……….(serius Lintang_
               “Cerita aja…ada apa? ( Diana menatap Lintang kebingungan)
               Tiba-tiba, Lintang terjatuh. Kata-kata yang ingin ia bicarakan tidak mampu terucap. Kepanikan gadis seni ini sungguh luar biasa. Ketika di ruang UKS, Lintang terbaring tak berdaya. Diana berlari menyusuri kelas dan mencari telepon di sekolahnya. Untuk memberi kabar pada orang tua Lintang dan membawanya ke rumah sakit..
               “Aku ada di mana? Ada apa denganku? ( sadar Lintang)
               “Kamu ada di rumah sakit. Kamu tadi pingsan di taman belakang sekolah. Kamu nggak apa-apa kan? (khawatir Diana)
               “Aku sakit apa? Mana ayah?”
               “Dokter masih belum memberitahukan pasti penyakitmu. Ayahmu masih dalam perjalanan. Bersabarlah sebentar. Cepat sembuh ya,, biar sore ini kita bisa belajar bareng, kan kamu udah janji kemaren.”
               “Mungkinkah penyakitku itu serius?””ahh, jangan berpiir gitu, kamu pasti sembuh. Semangatlah, aku akan ada di sampingmu..”
               “Sudah, sekolah sana. Biar pintar, dan bisa membalap rangkingku. Hhaha…”
               “Iihh,, kamu. Calon ilmuan gini diejekin. Pasti dong aku bisa. Hhehe”
               “Ya deh,, buktikan ke aku ya nanti.”
               “Iya, pasti. Suatu saat kita akn merayakan keberhasilan kita. Aku ke sekolah dulu ya.! Sebentar lagi, orangtuamu juga akan ke sini. Bye !!”
               “Bye.. Hati-hati ya Diana. Thank’s!"

* * *
               Jalan lorong sekolah tampak sepi, hanya ada seorang gadis berambut hitam pendek duduk di depan kelas musik sambil membawa biola dengan wajah yang tampak murung, Diana segera menghampirinya.
               “Hai, kenapa kamu sendiri? Nggak masuk kelas?” Tanya Diana heran
               “Hmm, aku.. aku.. mau sendiri di sini aja.”
               “Jangan seperti anak kecil, ayolah masuk. Tapi, apa yang membuatmu sedih?” penuh heran
               “Tadi, ketika ada pemilihan bakat pemain biola, aku ada kesalahan memainkan nada, sampai-sampai alunannya nggak enak didengar. Mereka menertawakanku, padahal aku baru saja pindah ke sekolah ini jadi aku masih belum pandai memainkan alat musik seperti biola ini..”
               “Kamu sudah hebat kok, kamu bisa memainkan alat musik kesukaanku, dan aku… aku hanya bisa menggambarnya. Yang penting, tetap berjuang!! Daah..aku ke kelas dulu ya..”
               “Thengs.. siapa namamu?”
               “Diana!" Teriaknya.. (sambil berlari)
               Nafas yang terengah-engah membasahi wajah gadis lembut nan periang itu. Diana segera masuk ke kelas lukisnya yang sudah mulai belajar. Sambil menyapu keringatnya, teringat sahabatnya yang terbaring lemah.
               (Mungkinkah kami akan terus bersama?) dalam hatinya berkata.
               Ibu Tari masuk ke kelas tiba-tiba. Meihat Diana yang sedang melamun segera menghampirinya.
               “Diana, kenapa kamu?”
               “Ohh.. Ibu. nggak apa-apa bu.”
               “Kamu bohong, da masalah ya? Tidak biasanya kamu seperti ini!”
               “Ii..ia bu.”
               “Memangnya ada apa, sampai-sampai mengganggu pikiranmu seperti ini?’
               “Sahabatku, Lintang. Dia masuk rumah sakit dan sepertinya penyakitnya parah.”
               “Ohh,, Lintang ya. Gimana kalau sepulang sekolah kita menjenguknya” ajak bu Tari
               “Ibu mau menjenguknya? “
               “Iya,, nggak apa-apa kan?”
               “I..ya. nggak masalah.” Semangat Diana
               Ibu Tari adalah guru yang paling disukai banyak siswa. Tak kadang banyak siswa yang curhat. Beliau memiliki jiwa keibuan, walaupun beliau belum menikah. Beliau sangat perhatian dan mengerti perasaan orang lain.
               Ibu Tari memberi semangat Diana, membuat ia semangat pula bertemu Lintang. Ia menyelesaikan lukisan pemandangan dengan kuas kesayangannya. Kali ini, ia mendapat pujian dari teman-teman dan bu Tari. Sampai-sampai lukisannya akan diikutkan dalam pameran lukisan. Lukisannya menggambarkan eorang gadis berkerudung duduk di atas tebing tinggi yang dihantam ombak di tepi pantai. Lukisan itu pun dihiasi pantulan sinar matahari di penghujung hari. Gambarnya begitu nyata, dan membawa dalam khayalan. Diana dan bu Tari pun berangkat menjenguk Lintang.
Hanya mereka berdua yang masih berada di sekolah. Tak heran, suara mereka menggema ketika lewat lorong sekolah. Diana melepas pandangannya ke arah taman di samping lapangan basket. Ia sempat kaget ada seorang gadis duduk di atas potongan pohon. Ketika ia hampiri, ternyata gadis biola itu.
               “Hai, belum pulang?" Sapa Diana
               “Hmmn. Belum Diana’
               “Ngapain kamu sendiri di sini, Zy?” Sahut bu Tari
               “Lho, ibu kenal dia?” sahut Diana
               “Uta, ibu kan juga mengajar kelas musik. JadI ibu kenal Lizy”
               “Ohh, namamu Lizy ya?”
               “Iya,, ibu mau ke mana, kok sama Diana?”
               “Ibu sama Diana mau ke rumah sakit, jenguk sahabatnya Diana. Kamu mau ikut?”
               “Ya,, boleh. Ayo! Panasnya terik matahari sudah mulai membakar kulit nih..” ajak Lizy
               “Hhhhaha….” Sambung Diana

* * *
               Diana meletakkan sekeranjang buah yang di bawanya. Kebetulan, kapten tim basket mereka juga jenguk Lintang. Rasa tak percaya meliputi kedua sahabat ini. Dalam keadaan yang tak mudah untuk mereka bersenda gurau. Padahal, rame kan, semuanya pada kumpul.
               “Bagaimana keadaanmu?” kejut Lizy
               “Ya, lumayan lah, agak mendingan.” Dengan suara datar sambil menunduk.
               Lintang mengangkat kepalanya, dan…. “Haahh,, Lizy!” teriaknya
               “Bagaimana bisa kamu di sini Zy?”
               “Syukurlah. Tadi aku diajak bu Tari dan Diana. Dan ternyata, yang terbaring saat ini adalah sahabatku.”
               “Sebenarnya, kamu sakit apa sih?” sambung Diana
               “a..ku, sakit Gagal Ginjal..”
               Semuanya tercengang, tak ada seorang pun yang berani memulai pembicaraan. Termasuk kapten basket Deva yang langsung terdiam ketika ia memainkan dasinya..
               “Kalian tak usah khawatir, di sisa umurku ini aku tak akan membuat kalian kecewa”
               “Jangan bilang begitu, yakinlah kamu masih bisa bermain basket lagi..” sahut Deva
               “Yaa, teruslah bersemangat. Siapa yang tahu kan takdir Tuhan. Semoga kamu cepat sembuh.” Sambung bu Tari
               ( Lintang terharu mengingat dan menyimpan momen ini. Ia memejamkan matanya hingga butiran air menetes di pipinya). Semuanya merasa iba padanya, khususnya Deva teman basketnya yang justru tidak mau kehilangan main lawannya walaupun Diana dan Lizy merasakan halyang sama dengannya. Bu Tari memulai pembicaraan setelah semuanya membeku.
               “Hari mulai sore nih, kalian semua masih belum ada yang mau pulang?”
               “Belum bu, sebentar lagi.” Jawab mereka serempak.
               “Ya sudah, ibu pulang duluan. Cepat sembuh, ya Lintang. Jangan patah semangat, kasihan sahabat dan tim basketmu, pasti mengkhawatirkanmu. Asalamualaikum…” kata bu Tari
               “walaikumsallam.. Iya bu, makasih. Hati-hati ya bu..”
               Suasana berubah menjadi hening kembali..
               “Aku tak ingin kehilanganmu, Lintang. Selalu ingat kata-kataku…" (bisik Diana)
               “Kamu-Sahabat_Terbaikku” mereka serempak.
               Hari ini terasa cukup singkat. Membawa mereka dalam canda tawa dan kerinduan. Diana dan Lizy segera pulang membawakabar perih dan memandang dengan rasa tak percaya. Diana teringat akan lukisannya. Di dalam hatinya dia ingin menjual lukisan itu untuk biaya Lintang. Ia merasa iba melihat orang tua Lintang pergi bolak balik mencari uang.
               “Diana, ada apa denganmu?’ kejut Lintang
               “Tidak, kami harus pulang. Hari sudah mulai gelap nih”
               “ohh, ya. Besok mungkin aku sudah diperbolehkan pulang jika kondisiku stabil”
               “Cepat sembuh, ya”……

* * *
Di depan lukisannya, Diana duduk termenung sambil menulis di buku diarynya.

Malam ku sepi..
Tak sanggup ku mengungkapkan
Air mata membendung di kelopak mataku..
Walaupun aku tertawa, tapi aku tetap merasakan bila hati ini menangis melihat nya tersenyum.
Jika Engkau mengizinkan. Takkan ku biarkan ia terbelenggu…
Kamu_sahabat_Terbaikku

               Ia simpan buku diarynya di tumpukkan buku pelajarannya. Diana memikirkan solusi untuk membantu Lintang. Iameluangkan waktu untuk melukis sebanyak-banyaknya untuk di jual tanpa sepengetahuan Lintang. Lizy yang baru dikenalnya juga turut membantu. Tak heran, ibunya Diana tiap hari selalu menyiapkan keperluanlukisnya. Malam semakin larut, Lizy yang juga tampak terlihat lelah memutuskan untuk menginap. Mereka terbaring di tempat tidur, namun tak ada salah satu dari mereka yang tertidur.mereka sama-sama ingin merencanakan sesuatu….

3 hari kemudian…

               Pohon-pohon yang menjulang tinggi disinari matahari yang masuk dicelah-celah dedaunan yang rindang. Diana dan Lizy sengaja membawa Lintang ke danau. Diana menggelar tikar, menyusun makanan, peralatan lukis, dan tempat mereka duduk. Sedangkan Lizy bersiap-siap di atas rumah pohon sambil memegang biola kesayangnnya. Namun dengan Lintang, ia justru merasa kebingungan dengan kedua temannya itu, sambil mengikik heran melihatnya.
               Diana memulai dengan memukul kedua kuasnya menandakan Lizy yang memainkan alunan biola yang merdu dengan lagu berjudul “semua tentang kita” sambil bernyanyi.

Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Teringat di saat kita tertawa bersama
Ceritakan semua tentang kita

Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat duu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kitaberduka saat kita tertawa

               Ketika lagunya selesai, tiba-tiba mereka semua terdiam sejenak. Suasana seperti di pemakaman, sepi, sunyi, hening, hanya hembusan angin yang terdengar. Diana membuka pembicaraan.
               “Dan aku baru ingat. Dulu ketika aku melukis sendiri di sini aku kagum dan penasaran siapa yang memainkan biola ternyata… itu kamu, Lizy!”
               “Iya,, tengs. Aku sengaja memainkannya karena semenjak aku tinggal di sini aku sangat kesepian. Dan ketika aku menemukan tempat indah ini, setiap sore di waktu luangku, aku bermain biola. Kebetulan, aku melihat seorang gadis sedang melukis.”
               “waah.. kalian sungguh hebat! Aku juga kagum pada kalian, kalian sendiri yang membuat acara ini dan kalian juga yang mendapatkan kejutan. Ketika pertama kali bertemu Diana, aku juga kagum atas sikapmu yang selalu memperdulikan teman-temanmu. Jika aku pergi nanti jangan lupakan persahabatan kita ini ya..”
               “Ah, kalian ini selalu membuatku GR. Tapi makasih ya atas pujiannya.ku yakin, kalian juga mempunyai keistimewaan masing-masing. Dan kamu Lintang, si cewek gadungan. Masa jiwa tomboymu yang tegar dipatahkan dengan adanya penyakit ini. Justru dengan ini kamu bisa bertambah tegar yang tahan bantingan.. hahaha.
               “Emang aku bola, tahan bantingan. Hahaha! Ketus Lintang
               Diana tak ingin membuat hati teman-temannya terluka, ia selalu mencoba untuk tersenyum walau di hatinya sangat mengganjal. Tak lupa, Diana melukis simbol persahabatan mereka “LiDiZy”. Dari kejauhan Deva sedang bersepeda mengitari danau, melihat tingkah mereka yang terlihat ekspresif dan penuh canda tawa. Tapa berpikir panjang, ia menghampiri ketiga cewek itu sambil membawa gitarnya dan langsung duduk di tikar.
               “Eh, kamu. Udah minta izin dengan yang punya belum? Sembarangan aja duduk.” Judes Diana
               “Kok gitu, sih Diana. Nggak apa-apa kok.” Bela Lintang
               “Coba deh kalian lihat, dia mau ngehancurin acara kita.” Sebel Diana
               “Eh kamu, bagai ratu aja. Lintang aja nggak keganggu. Sekali-sekali dong aku ikut gabung. Kan jarang-jarang bisa dekat sama cowok popular di sekolah. hitung-hitung kesempatan buat kalian.”
               “Ya sudah, cukup. Kita nyanyi bareng lagi yuk….” Lerai Lizy
               “Eh, ganti dong simbolnya jadi…(berpikir sejenak) “LiDiZyVa” kan lebih keren!” sahut Deva
               “Ah, kamu ini ada-ada saja. Semoga masih ada ruang untuk menulis namamu ya.. hahaha
               “hhuuhh…”
               Seharian mereka jalani untuk menghibur Lintang. Walaupun diantara mereka baru saling mengenal, tapi mereka seperti mempunyai kekuatan magnet. Hari-hari mereka selalu bersama.

* * *
               Waktu yang tepat ditemukan Diana dan Lizy untuk menjalani rencana kedua mereka. Mereka sudah mengatur strategi agar lukisan Diana laku terjual. Hampir 2 minggu penuh mereka meluangkan waktu untuk menjualnya. Uang yang terkumpul lumayan banyak, dan segera mereka berikan pada orang tua Lintang tanpa sepengetahuan Lintang. Deva yang biasanya sibuk dengan tim basketnya, akhirnya ikut membantu juga.
               Di waktu yang bersamaan mereka datang ke rumah Lintang secara tersembunyi, mereka melihat Lintang kesakitan sambil memegang perutnya. Kekhawatiran mereka tak dapat dibendung. Mereka segera membawa Lintang ke rumah sakit dan memberitahukan orang tuanya. Mengingat Lintang adalah anak semata wayang orang tuanya.
               Ternyata, penyakitnya bertambah parah. Sebenarnya, Lintang pulang dari rumah sakit karena keterbatasan biaya. Uang yang mereka dapatkan tidak cukup untuk membiayai semua pengobatan Lintang. Di tambah lagi ayah Lintang yang hanya memiliki tabungan seadanya, itu pun telah habis digunakan. Terpaksa, Lintang hanya bisa di opname tanpa harus membeli semua obat yang diperlukan.

* * *
               Setiap lorong sekolah kelas X ramai dipenuhi siswi yang mendengar kabar mengenai Lintang. Anak yang tomboy dan disenangi banyak orang.
               “Hai, Diana, Lizy. Gimana keadaan Lintang? Apa dia membaik? Kapan kalian mau menjenguknya lagi?” (pertanyaan runtun dari Deva)
               “Hello Deva, kalau nanya satu-satu dong. Kamu bukan mau wawancara kan?” jawab Diana
               “Emang, kami orang tuanya? Kami juga belum tahu keadaannya. Ayo kita jenguk aja sama-sama pulang sekolah” tegas Lizy
               Bunyi bel panjang bertanda telah berakhir jam pelajaran. Hujan yang tampak lebat, membuat para siswa harus menunggu sampai hujan reda. Tiba-tiba handphone Deva berbunyi, padahal peraturan sekolah dilarang membawa handphone, suara di seberang membawa berita buruk.
               Hujan yang lebat tak mereka perdulikan. Mereka lari basah-basahan menuju rumah sakit sambil menangis terisak-isak. Mereka sangat khawatir dan tak percaya bahwa kabar itu memang benar nyata. Sahabat mereka Lintang meninggal dunia. Nyawanya tak dapat tertolong lagi karena penyakitnya semakin hari semakin parah. Orang tua Lintang merasa kehilangan dan terpukul, namun semua adalah kehendak-Nya. Orang tua Lintang juga sangat berterima kasih pada Lizy, Diana, dan Deva. Menganggap mereka sebagai anaknya.

* * *

“Tak sempat ku berikan
Tak sempat ku sampaikan”
_LiDiZyVa_

Kalimat itu selalu melintas dipikiran Diana. Begitu pula Lizy dan Deva. Kerasa tak percaya, kehilangan, kerinduan, tersirat dibenak mereka. Mereka termenung di tepi danau sambil menyanyikan lagu “Semua Tentang Kita” yang biasa mereka nyanyikan.

Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati

Belum sempat lagu itu dinyanyikan, butiran air mata membasahi di pipi ketiganya. Orang tua Lintang tiba-tiba dating dan ikut duduk di antara mereka. Memberikan semangat pada Lizy, Diana dan Deva bahwa masa depan mereka juga menjadi kebanggaan orang tua angkat mereka. Ibu Lintang tiba-tiba menyerahkan secarik kertas berwarna biru yang bergambar bunga. Tangan Deva bergetar ketika memegang kertas itu. Rasa penasaran membuat ia segera membuka dan membacanya seperti sedang lomba baca puisi.

Sahabatku impianku
Cita-citaku imajinasiku
Bukan hal yang salah memiliki mimpi
Bukan hal yang salah mempunyai tujuan
Tujuan seperti sinar
Kesana lah kita berlari
Dan untuk itulsh kita hidup
Tapi, terkadang sinarnya terlalu menyilaukan
Membuat kita sulit melihat
Sehingga tiba suatu saat kita harus sejenak berhenti
Untuk menghindari sinar yang ada pada kita sendiri

               “Waahh, sungguh bersemangatnya dia. Aku pikir karena fisiknya lemah, jiwanya akan goyah. Tapi aku salah. Hebat!! Puji Diana. Sambil melanjutkan lukisannya.
               “Iya..”sambung Lizy sambil meneteskan air mata.
               Suasana menjadi hening kembali. Kemudian Diana berteriak girang sambil meneteskan butiran air mata yang melintas di pipinya.
               “Lukisan dengan simbol “LiDiZyVa” akhirnya selesai”
               “Waahh..keren.!”
               Mereka menatap terpesona lukisan yang melambangkan persahabatan ini yang terlihat indah karena di sekitar tulisan itu ada gambar wajah mereka masing-masing. Di danau inilah sejarah persahabatanku. Dan tempat inilah aku dan sahabatku berbagi walau hanya sekedar untuk mengenang Lintang.

SELESAI


Ini untuk Kalian AYU KUMALA BERLIANA dan CHRISTINA PRAVITA SARI

HD

Minggu, 04 Agustus 2013

Mata Untuk Devito :') *Akhir*


Devta melepas masker oksigennya dengan lemah. Tepat saat itu, Dokter Rio dan beberapa suster memasuki ruangan Devta. Dinda pun berdiri dan perlahan menyingkir dari sisi Devta untuk memberi kesempatan kepada Dokter Rio untuk memeriksa keadaan Devta.

“Syukurlah kamu sudah sadar, dan kondisi kamu saat ini cukup stabil. Banyak-banyak istirahat ya Devta. Saya permisi dulu.” tutur Dokter Rio.
“Iya Dok.” jawab Devta lemah.

Dokter Rio tersenyum. Ia lalu berjalan keluar bersama suster-susternya. Selepas, peninggal Dokter Rio, Dinda kembali mendekati Devta. ia tersenyum senang. Akhirnya setelah lama Devta tertidur, akhirnya ia pun bangun dengan kondisi tubuh yang baik dan stabil.

“Din, Oma mana?”
“Oma lagi istirahat di rumah. Beliau kecapekan nungguin kamu semaleman. Kamu mimpi apa sih, kok tidurnya lama banget?”gurau Dinda.
“Aku ketemu Bunda, Din. Bunda cantiiiik banget...” jawab Devta, suaranya terdengar bergetar.

Dinda terdiam, Ia tak tau harus bicara apa saat ini. Sampai akhirnya, pintu ruang rawatpun kembali terbuka yang kini menampilkan sosok Oma dengan baju batiknya, yang membuat Oma semakin terlihat anggun. Oma tersenyum melihat Devta yang sudah terbangun dan berbicara dengan Dinda, walaupun beliau tidak tau apa yang sedang mereka bicarakan.

“Akhirnya kamu sadar juga sayang.” ujar Oma.
“Oma, Devta ingin mendonorkan mata Devta buat Devito.” kata Devta tiba-tiba dan membuat seisi ruangan itu terkejut.
“Dev! Kamu jangan gila!” pekik Dinda marah.
“Devta mohon Oma. Anggep saja ini adalah permintaan terakhir Devta..” ujarnya lagi.
“Dev! Tolong kamu jangan ngomong gitu!”pinta Dinda.
“Dinda please, shut up!” bentak Devta.

Dinda pun terdiam, Devta menatap Omanya dengan penuh harap. Oma masih terdiam dan tampak berpikir keras. Lalu, sedetik kemudian Oma tampak menggeleng. Mata beliau berkaca-kaca. Devta mendenguskan nafasnya, kesal.

“Devta mohon Oma, Devta lelah, Devta pengen sama Bunda di sana. Devta pengen sebelum pergi, Devta masih bisa menebus kesalahan Devta ke Devito. Devta mohon Oma...”pintanya sekali lagi.
Kini giliran Oma yang menghembuskan nafasnya. “Baik, Oma akan menuruti permintaan kamu.”
“Oma... ”sela Dinda.
“Tapi kamu harus janji sama Oma, sama Dinda juga, Kamu ga akan kemana-mana, kamu akan tetap di sini.” lanjut Oma tanpa mempedulikan Dinda.
“Oma... ”ujar Dinda lagi.
“Untuk itu, Oke Devta janji. Devta akan tetap di sini.”

***

Setelah mendapatkan persetujuan dari Dokter Rio, Devta pun bisa mengikuti operasi mata untuk mendonorkan matanya untuk Devito. Devito sendiri meskipun tak berbicara, tapi semua orang tau bahwa ia cukup bahagia mendengar bahwa telah ada donor mata yang cocok untuk dirinya. Meskipun ia tidak tau bahwa mata itu adalah milik kakaknya.

Operasi berjalan hampir lima jam. Dua jam pertama, saat pengambilan mata Devta, operasi berjalan lancar. Namun, saat mata Devta mulai dipindahkan ke Devito, detak jantungnya melemah. Dokter Rio yang bertugas memantau tubuh Devtapun segera bertindak cepat, sedangkan Dokter Iqbal, dokter mata rumah sakit ini, terus melakukan proses pendonoran pada Devito.

Jantung Devta kembali normal setelah berbagai usaha dilakukan oleh Dokter Rio, termasuk berdoa. Operasi pun selesai dengan lancar. Devito dan Devta, yang masih belum sadar akibat pengaruh bius, dipindahkan ke ruangan yang sama. Oma, Dinda, dan Ayah mereka, mengikuti ke mana mistar yang ditempati kedua pemuda itu didorong.

Mereka bertiga pun menunggui Devta dan Devito secara bersama-sama, meskipun Ayah lebih cenderung acuh pada kondisi Devta. Namun tiba-tiba, setelah satu jam mereka berdua dipindahkan, detak jantung Devta kembali melemah, kondisinya kritis. Dinda berlarian mencari Dokter Rio untuk segera memeriksa Devta.

“Mohon semuanya keluar dari ruangan, biarkan Dokter Rio memeriksa pasien.” suruh salah seorang suster rumah sakit.
“Tapi saya ayahnya, Sus!” bentak Ayah dengan suara khawatir.
“Tetap tidak boleh, Pak. Mohon pengertiannya ya.” jawab suster tersebut.
“Sudah Dharma, ayo kita keluar. Biarkan saja, mereka berdua juga butuh istirahat.”ujar Oma pada Ayah Dharma.

Ayahpun menurut dan berjalan lemas mendekati bangku di depan ruang rawat kedua putranya. Di dalam ruang rawat sendiri, Dokter Rio tampak kebingungan karena mendadak Devta menjadi kritis seperti ini. Setelah akhirnya, alat pendeteksi jantung Devta menunjukkan garis lurus, Dokter Riopun menggeleng, Devta sudah pergi.

Dokter Rio keluar dari ruangan dengan wajah muram. Ayah, Oma, dan Dinda segera mendekati Dokter Rio. Hati mereka bertiga jelas dipenuhi rasa ketakutan luar biasa saat melihat wajah muram Dokter Rio. Dan setelah Dokter Rio menghirup nafas dalam-dalam ia mulai berkata.

“Maaf, Devta .... Tidak bisa saya pertahankan lagi, Ia sudah pergi.” kata Dokter Rio.

Ayah tampak menggeleng keras, Matanya berkaca-kaca menahan tangis. Sedangkan Oma dan Dinda sudah menangis dengan keras. Hati mereka serasa dijatuhkan dari atas gedung pencakar langit. Mereka benar-benar tidak menyangka Devta akan pergi secepat ini.

Dinda berlari menerobos Dokter Rio memasuki ruangan Devta dan Devito. Ia menangis sejadi-jadinya sambil menggenggam tangan Devta yang mulai mendingin. Dinda membenamkan wajahnya ke tangan Devta. Tetesan air matanya menetesi tangan Devta dan membuat tangan pemuda itu basah.

“Devv! Kamu udah janji sama aku dan Oma, kamu ga akan pergi ke mana-mana. Tapi kenapa kamu melanggarnya? Kenapa, Dev?”ucap Dinda sambil terisak.

Dinda kembali menangis seusai berucap seperti itu. Beberapa saat kemudain, Ayah dan Oma masuk. Keduanya telah menangis dalam diam. Mereka sama-sama terpukul, tapi Ayahlah yang terlihat lebih terpukul. Beberapa kali, beliau tampak mengusap wajahnya frustasi.

“Maafin Ayah Dev, Sampai saat terakhirpun , Ayah tetep ga peduliin kamu. Maafin Ayah, Dev.”
“Mas Devta..” tiba-tiba terdengar suara gumaman dari belakang mereka bertiga. Ya, itu Devito.

Serentak mereka bertiga berbailk dan mendapati Devito yang sedang menggapai-nggapai angin. Setitik rasa lega merasuki hati mereka, tapi kemudian tergerus oleh rasa bimbang. Mereka bingung, apa yang harus mereka katakan pada Devito setelah ini.

“Ayah, Oma... Kalian di sini kan?” ujar Devito sedikit lebih keras.
Ayahpun mendekatinya dan mengusap rambut pemuda itu. “Iya sayang, Ayah di sini, Mas Devta juga.”
“Mas, Mas Devta jawab dong?” panggilnya, namun tak ada jawaban.

  Devito mengerut, Ia merasakan hatinya bergejolak. Ia juga merasa bahwa ada sesuatu yang buruk terjadi pada kakaknya itu. Devito tampak memutar kepalanya mencoba menatap wajah Ayah, walaupun sebenarnya ia masih belum bisa melihat karena matanya masih tertutup oleh perban.

“Yah, kenapa Mas Devta ga jawab ? Mas Devta baik-baik aja kan, yah?’
“Sini sayang, Ayah akan bantu kamu mendekati Mas Devta.” Ayah membantunya berdiri dan membawakan botol infus Devito.

Devito menurut saja sembari mengikuti langkah ayahnya, Vito mulai mendekati kakaknya yang mulai mendingin. Lalu Ayah meletakkan tangan Vito pada tangan Kakaknya. Namun, seketika itu juga tangan Vito terlepas. Ia cukup terkejut saat merasakan tangan Devta yang sangat dingin. Devito mengerutkan dahinya lagi.

“Kenapa tangan Mas Devta dingin? Ayah, Oma? Jawab Vito! Kenapa tangan Mas Devta dingin? Apaaa, Apa... ? ” Ia tidak melanjutkan perkataannya, karena kepalanya mendadak terasa pening.
“Devtaaa, dia sudah pergi To, dia udah tenang di sana.” kini Dinda mulai bersuara, walau suaranya masih terdengar parau.
“APAAA? Nggak, nggak mungkin. Mas Devta nggak mungkin pergi!! TIDAAAAAK!!!” Tiba-tiba setelah berkata seperti itu, Devito terjatuh lemas, Ia pingsan.

Kali ini bukan akibat bius. Dokter Iqbal, yang menangani Devito, masuk setelah dipanggil Oma. Sedangkan Devta sendiri telah diurus untuk dibawa pulang dan akan segera disemayamkan di rumah. Ayah dan Oma sepakat untuk memakamkan Devta setelah Devito membuka perban matanya, besok .

Esok siangnya, perban mata Devito sudah dilepas. Matanyapun bisa diterimanya dengan baik dan Devito bisa melihat. Namun kini, ia malah kembali terdiam dan membisu hingga Kakanya dimakamkan pada sore harinya. Ayah sudah mencoba banyak cara untuk mengajak Devito bicara, tapi tetap saja gagal. Akhirnya, Dindalah yang mencoba mengajaknya berbicara.

“To, Kamu harus kuat. Devta nggak akan pernah suka adik kecilnya kayak gini. Ngomong dong To.” ujar Dinda.

Devito menoleh pada Dinda, Ia memeluknya dengan erat. Beberapa saat kemudian, Dindaa merasakan bahunya basah. Ya, Devito menangis. “Kak, Vito nyesel belom sempet bilang apa-apa sama Mas Devta. Aku bodoh banget mutusin buat ngga bicara selama aku buta. Aku...” Devito tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

“Semuanya udah terjadi, nggak ada lagi yang perlu disesali To. Oya, sebelum Devta pingsan waktu itu, dia sempet beli ini buat kamu. Buat kado ulangtaun kamu. Maaf, Kakak baru sempet kasih sekarang.” ujar Dinda.

Devito melepas pelukannya dan menatap barang yang baru diserahkan Dinda. Dengan tatapan yang nanar dan memburam karena air matanya barusan, ia masih bisa melihat sebuah topi LA warna ungu yang selama ini diinginkannya. Dan itu, merupakan kado terakhir dari kakaknya. Air mata Devito kembali mengalir, tapi tangan Dinda mendekat dan menghapus air matanya.

“Heey, cowok tuh ga boleh cengeng. Nih pake! Oya, ada satu lagi, Ini kakak temuin di meja sebelah ranjang Devta.” kata Dinda sambil memakaikan topi itu dan menyodorkan secarik kertas padanya.

Devito menerima kertas itu dan membukanya, Hatinya pun terasa tertohok saat melihat titik-titik bekas air mata di kertas itu, Devitopun memulai membaca surat tersebut.

To My Little Brother

Arvigo Devito Dharmawan

Hey Vito, Apa kabar? Hihi, Mas basa-basi banget ya? Orang tiap hari juga ketemu. Hehehe :D, Mas tau kamu sekarang pasti seneeeeng banget setelah dapet mata itu. Mas juga seneng kok kamu bisa ngeliat lagi, Kamu bisa main basket lagi. Tapi, Mas minta maaf ya sama kamu, Karena Mas gak bisa ikut kamu main basket lagi, dan Mas juga gak bisa sama kamu lagi.

Kamu pasti inget kan, waktu Mas masuk rumah sakit dulu, yang gara-gara jatoh dari rumah pohon? Ternyata, efeknya muncul sekarang, dek. Dalam otak Mas, ternyata terjadi penyumbatan darah. Sebenarnya Mas udah tau hal ini dari setahun yang lalu, sebelum kecelakaan itu terjadi. Dan saat kecelakaan itu terjadi, alasan mengapa Mas kehilangan kendali atas mobil itu adalah karena sakit itu dateng, Dek. Rasanya saakit banget. Dan akhirnya semua terbongkar, setelah Mas pingsan di basement mall waktu itu.

Waktu Mas koma, mas koma selama seminggu, Dek. Kamu tau, waktu koma, Mas ketemu Bunda, dek. Bunda ngajak Mas buat ikut ke sana. Mas bilang aja iya, tapi Mas masih harus lakuin satu hal dulu. Mas mau nebus kesalahan mas ke kamu dulu, dek. Mas mau ngasih kamu kado terindah di hari ulang tahun kamu.
Maaf, Mas udah ngga bisa lagi ucapin ‘Happy Birthday’ ke kamu. Tapi untuk yang terakhir kalinya, “Happy Birthday Adekku”. Mas sayang banget sama kamu. Pesen Mas, jaga mata itu ya, awas kalo kamu bikin ‘mata itu’ nangis. Dan, Mas juga titip Kak Dinda ya, jagain dia dan pastikan, Kak Dinda nemuin pasangan yang bener-bener mau jaga dia dan sayang sama dia ya. Salamin ke dia juga, Mas sayang sama Kak Dinda.

Udah dulu ya, dek. Tangan Mas udah lemes banget. Untuk yang terakhir kali, Mas sayang kamu. Mas janji, akan selalu jagain kamu dari sini, sama Bunda.

With Love,

Devta Dharmawan


Devito terdiam, dan air matanya kembali mengalir. Lalu, Ia dengan cepat menutup matanya dan menghirup udara dan menghembuskannya selama beberapa kali hingga air matanya berhenti mengalir. Ia membuka matanya lagi dan menatap langit malam yang begitu indah karena dipenuhi bintang-bintang. Namun, ada dua bintang yang paling terang di antaranya. Ia yakin, itu adalah bintang bunda dan kakaknya.

“Aku janji mas, Aku pasti jaga mata ini, dan juga, jaga Kak Dinda buat Kakak.” gumamnya pelan, namun sangat tegas.

Sesaat kemudian, salah satu bintang yang paling terang itu, berkedip. Seakan membalas gumaman Devito barusan. Iavpun tersenyum lalu mulai berjanji pada dirinya untuk memulai hidup dengan baik dan kembali menjadi Devito yang dulu. Devito adik kecilnya Devta.


---THE END---

Sabtu, 03 Agustus 2013

Mata Untuk Devito *Part 2*


“Dinda juga ga tau, Oma. Tadi, waktu kita lagi di mall, Devta pucet, dan Dinda ngajak dia pulang, tapi tiba-tiba pas sampe di basement, Devta pingsan. Dinda langsung bawa dia ke sini...” tutur Dinda.
“Semoga Devta baik-baik aja. Dia ga pernah kayak gini sebelumnya...”ucap Oma lirih.
“Iya Oma. Oya, Devito ga ikut?”tanya Dinda.
Tatapan mata Oma yang semula sayu, menjadi makin sayu mendengar pertanyaan Dinda. “Kamu tau sendiri, Devito seperti apa sekarang. Dia ga mau peduli lagi pada kakaknya...”
“Oma yang sabar ya, Dinda yakin, Devito pasti kembali. Dan dia pasti bisa ngeliat lagi.”ujar Dinda, mencoba membesarkan hati Oma.
“Permisi, keluarga Devta Darmawan?”suara berat dan berwibawa memecah suasana sendu di antara Dinda dan Oma Devta.
“Saya Omanya Dok, bagaimana keadaan cucu saya?” tanya Oma.
“Sebaiknya, kita bicara di ruangan saya saja.”jawab Dokter itu.
“Baik, Dinda kamu tunggu di sini ya, sayang.” kata Oma kepada Dinda.
“Iya Oma.”

Sebenarnya, Dinda diselimuti oleh rasa ingin tau akan keadaan Devta . Namun, ia hanya bisa menaati perkataan Oma. Omapun mengikuti dokter yang ber-name tag ‘Rio’ itu menuju ruangannya. Setelah Dokter Rio membukakan pintu, Oma pun masuk dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Dokter Rio. Oma menunggu Dokter Rio berbicara. Dan setelah menghirup nafas cukup panjang, Dokter Rio pun berbicara, tatapan matanya cukup serius.

“Begini Ibu, ...” “Panggil saya, Oma saja, Dok.”potong Oma cepat.
“Baik Oma, saya ingin bertanya satu hal. Apakah Devta punya riwayat mengalami gegar otak ringan dulu?” tanya Dokter Rio.
Oma tampak berpikir keras. Lalu tiba-tiba beliau seperti mengingat sesuatu. “Iya, Dok, sewaktu ia masih umur sepuluh tahun, ia sempat terjatuh dari rumah pohonnya dan mengalami gegar otak ringan. Lalu, kenapa Dok?”
“Saya merasa, kejadian pingsannya Devta hari ini, merupakan efek dari gegar otak yang pernah ia alami dulu. Dan, ini bukan efek yang pertama kali Devta rasakan.”ucap Dokter Rio.
“Maksud Dokter?”tanya Oma.
“Dia sering mengalami pusing seperti ini, tapi tidak sampai pingsan. Dan saya rasa, Devta mengabaikan hal itu.”jawab Dokter Joe.
“Dia memang sering mengeluh kalau dia pusing, Tapi dia juga selalu berkata, hanya minum obat sakit kepala biasa sudah reda. Apa pusing yang dialami Devta itu serius, Dok?” tanya Oma.
“Iya, sangat serius. Saya mendiagnosis adanya penyumbatan darah di otak Devta, dan itu bisa berdampak fatal bagi dirinya. Tetapi, sebelum memastikan hal itu, saya harus melakukan CT-Scan terhadapnya.”
“Lakukan apapun yang terbaik buat cucu saya, Dok.”suruh Oma cepat.

Dokter Rio mengangguk, Ia mengambil telepon genggam di atas mejanya lalu menghubungi suster di resepsionis untuk menyiapkan ruang CT-Scan dan juga untuk membawa Devta menuju ruangan itu. Omapun pergi ke administrasi untuk menyelesaikan biaya sebelum menghampiri Dinda.

Setelah tahu Devta tiba-tiba dibawa begitu saja, Dinda pun menghampiri Oma yang duduk di depan ruang CT-Scan. Dindaa menepuk bahu Oma lembut yang membuat Oma mendongak. Sekilas, Dinda bisa melihat bahwa Devta tidak baik-baik saja. Tapi Oma tetap tersenyum namun getir.

“Oma, Devta baik-baik aja kan?” tanya Dinda.
“Entahlah, DInda. Dokter bilang, kemungkinan ada penyumbatan di otak Devta, dan itu bisa berakibat fatal bagi dirinya. Dan CT-Scan ini dilakukan untuk memastikannya.” jawab Oma.

Dinda sontak menutup mulutnya dengan tangannya, ia sungguh terkejut akan perkataan Oma. Selama ini, Devta baik-baik saja, kenapa tiba-tiba bisa mengalami begini. Tanpa disadari, sebutir air bening mengalir di pipinya. Dinda pun memeluk Oma, mencoba menguatkan Oma dan juga menguatkan dirinya sendiri, tentunya.

***

Semua ucapan Dokter Rio waktu itu benar. Devta memang mengalami penyumbatan darah di otak. Dan hingga saat ini, Devta masih koma. Selama itu juga, Dinda selalu setia menunggui Devta sampai melupakan jadwal kuliahnya sendiri. Oma memang sudah berulang kali menyuruh Devta untuk pulang dan kuliah, namun Dinda bersikeras untuk tetap menunggui Devta hingga sadar.

Seperti hari ini, ia masih berada di sisi Devta. Menunggu pemuda itu terbangun dari tidur panjangnya. Dinda menggenggam tangan Devta dengan erat. Tak terasa, butir demi butir air mata mampu membuat sungai di pipinya. Dinda mencium tangan Devta.

“Dev, bangun dev, kamu inget kan lusa ulang taun Devito Kamu kan mau ngasih topi itu buat dia, Dev.” pinta Dinda lirih.

Dinda membenamkan wajahnya ke kasur tempat Devta berbaring. Tetesan air matanya kian menderas. Tiba-tiba, Dinda merasa sebuah gerakan dari tangan Devta yang saat itu ia genggam. Dinda mendongak dan mendapati Devta yang mulai mengerjapkan matanya, Devta sadar. Dinda segera memencet bel di atas meja.

“Diiin” ucanya dengan susah karena masih memakai masker oksigen.
“Iya Dev, ada yang sakit?” tanya Dinda.

Mata Untuk Devito :') *Part 1*

 

Devta duduk di lantai rumah pohonnya. Rumah pohon yang menajdi saksi bisu perjalanan hidupnya dari kecil hingga sebesar ini. rumah pohon yang merekam segala kenangan masa kecilnya bersama adiknya, Devito. Di rumah pohon ini, mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Bermain game, bermain basket, belajar, bahkan tidur pun mereka bisa lakukan di rumah pohon ini.

Tapi itu dulu. Yah dulu. Sebelum kecelakaan mengerikan itu terjadi. Kecelakaan yang merenggut  penglihatan Devito, kecelakaan yang merenggut nyawa Bunda mereka. Kini Devito berubah menjadi sosok yang pendiam, bukan lagi adik kecil Devta yang selalu ceria dan bersemangat. Bahkan, Devito sama sekali tidak mau berbicara
semenjak ia tersadar dari komanya dan tau bahwa dirinya telah buta.

“Maafin Kakak, to... Kalo aja waktu itu bukan Kakak yang nyetir, Bunda ga akan meninggal, dan kamu ga akan buta... Maafin Kakak, to...”ucap Devta lirih.

Yah, memang saat kecelakaan itu terjadi, Devtalah yang mengendalikan laju mobil. Dan saat mobil itu tiba-tiba tidak bisa dikendalikan, karena rem blong, Devta pun membanting setir sehingga menabrak pohon. Bunda mereka mengehembuskan nafas terakhir saat itu juga karena kehabisan darah, dan Devito harus kehilangan penglihatannya setelah koma selama seminggu. Sedangkan, Devta hanya mengalami luka ringan di bagian kepalanya.


Hal itulah yang membuat Devta merasa bersalah hingga saat ini. Bahkan Ayahnya pun juga ikut menyalahkannya atas kecelakaan itu. Sampai-sampai, Ayahnya sudah tidak mau peduli pada Devta. Untung saja, masih ada Oma yang masih mau menerima Devta dan menganggap semua ini hanya kecelakaan, bukan kesalahan Devita.

“Dev... Dicariin kemana-mana, di sini ternyata...”sebuah suara halus dan lembut masuk ke dalam rongga telinga Devta saat Devta tengah asyik mengingat lembaran masa kecilnya.
“Din... Ada apa?”tanya Devta saat tau bahwa pemilik suara itu adalah Dinda, sahabatnya dari kecil, sahabat Devito juga.
“Turun yuk, makan siang. Oma udah nungguin tuh di ruang makan...”jawab Devta.

Tanpa menjawab Dinda, Devta melompat dari tempat ia duduk. Dinda sempat memekik takut saat Devta melakukan hal itu. Ouh, yang benar saja, rumah pohon ini cukup tinggi dan berpotensi membuat seseorang gegar otak karena jatuh dari atas. Melihat ekspresi Dinda yang ketakutan itu, Devta tersenyum nakal, lalu mengacak rambut Dinda dengan gemas.

“DEVTA! RAMBUT AKU BERANTAKAN TAUUU!”teriak Dinda kesal.
“TETEP CANTIK KOK!”balas Devta dari kejauhan.

Dinda tersenyum mendengar balasan Devta itu. Dasar Devta, Selalu bisa membuatnya merasa senang. Memang Devta sering mengacak rambutnya hingga berantakan, tapi sesering itu juga, Devta akan memujinya cantik. Dan itu cukup membuat Dinda merasakan jantungnya berdegup sepuluh kali lebih cepat dari biasanya. Ouh, Dinda jatuh cinta pada devta!

***
Makan siang sudah selesai, Devta memutuskan untuk mengajak Dinda keluar untuk jalan-jalan. Ia merasa perlu sedikit refreshing saat ini. Dan dengan senang hati, Dinda mengiyakan permintaan Devta. Mereka pun berkeliling kota Surabaya dan menikmati suasana ramai Surabaya di siang hari. Mereka juga berkeliling di Tunjungan Plaza, entah apa yang mereka cari.

“Din, topi ini bagus ga?”tanya Devta saat mereka memasuki sebuah toko aksesoris yang menjadi langganan mereka dari dulu.
“Bagus, Dev. Tapi kalo buat kamu ga cocok deh. Kamu tuh ga cocok kalo pake topi...”jawab Dinda.
“Bukan buat aku kok Din, tapi buat Devito. Bentar lagi kan dia ulang taun...”balas Devta.

Dinda tercengang, ia serasa tertohok karena melupakan ulang tahun adik Devta itu. “Oh My God! Kenapa aku bisa lupa ya sama ulang taun Devito... Aduuuh, Dinda, bego banget sih...”gerutu Dindaa.

“Yaelah, ini gimana, bagus ga? Cocok kan buat Devito?”tanya Devta.
“Iya, cocok, cocok banget. Devito juga suka warna ungu kan?”balas Dinda.
Devta terdiam, ia menatap topi yang ia pegang. “Tapi Devito ga bisa liat topi ini...”
Dinda dapat melihat tatapan Devta yang berubah sayu. Dinda menepuk bahu Devta pelan. Ia mencoba menyalurkan
energi semangat pada Devta. “Dev... Devito pasti bisa liat topi ini kok, suatu hari nanti. Pasti”
“Hanya kalo dia dapet donor mata yang cocok dengannya.”Mata Devta mulai berkaca-kaca, mengingat hingga saat ini, Devito belum mendapat donor mata yang cocok.
“Ah, udah. Napa jadi mellow gini sih, Dev? Udah yuk, kamu bayar tuh topinya, abis itu kita pulang. Kamu pasti capek banget. Muka kamu sampe pucet gitu.”ucap Dinda.

Devta mengangguk. Perkataan Dinda memang benar, dia benar-benar merasa capek saat ini. entah karena apa. Ia juga merasa kepalanya terasa agak pening. Tidak mungkin karena ia tidak makan siang. Devta pun berjalan menuju kasir dan membayar topi itu. Sehabis membayar topi itu, Devta dan Dinda pun berjalan menuju basemant untuk pulang.

Tapi saat sampai basemant, tiba-tiba, pening di kepala Devta makin menjadi. Pandangan mata Devta tiba-tiba memburam, dan lama kelamaan menjadi gelap. Tubuhnya terasa lemas dan seperti melayang. Devta terjatuh pingsan. Dinda sempat memekik kaget, tapi ia langsung membawa Devta menuju mobil. Untungnya, dia bisa membawa mobil.

Dinda tidak membawa Devta pulang ke rumah, tapi ia membawanya menuju rumah sakit. Perasaan takut yang mengelilingi hatinya, membuat dia tidak bisa membawa Devta pulang ke rumah saat ini. Devta harus dibawa ke rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, Devta langsung diperiksa oleh dokter, Dinda hanya bisa menunggu di depan ruang UGD sambil menghubungi Oma Devta.

“Dinda...” Dinda mendengar namanya lima belas menit setelah ia menelpon Oma. Ia tau, itu suara Oma.
Dinda menoleh. “Oma...”
“Devta kenapa, sayang?”tanya Oma saat sudah tiba di
depan Dinda.

To be Continued