Sabtu, 03 Agustus 2013

Mata Untuk Devito :') *Part 1*

 

Devta duduk di lantai rumah pohonnya. Rumah pohon yang menajdi saksi bisu perjalanan hidupnya dari kecil hingga sebesar ini. rumah pohon yang merekam segala kenangan masa kecilnya bersama adiknya, Devito. Di rumah pohon ini, mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Bermain game, bermain basket, belajar, bahkan tidur pun mereka bisa lakukan di rumah pohon ini.

Tapi itu dulu. Yah dulu. Sebelum kecelakaan mengerikan itu terjadi. Kecelakaan yang merenggut  penglihatan Devito, kecelakaan yang merenggut nyawa Bunda mereka. Kini Devito berubah menjadi sosok yang pendiam, bukan lagi adik kecil Devta yang selalu ceria dan bersemangat. Bahkan, Devito sama sekali tidak mau berbicara
semenjak ia tersadar dari komanya dan tau bahwa dirinya telah buta.

“Maafin Kakak, to... Kalo aja waktu itu bukan Kakak yang nyetir, Bunda ga akan meninggal, dan kamu ga akan buta... Maafin Kakak, to...”ucap Devta lirih.

Yah, memang saat kecelakaan itu terjadi, Devtalah yang mengendalikan laju mobil. Dan saat mobil itu tiba-tiba tidak bisa dikendalikan, karena rem blong, Devta pun membanting setir sehingga menabrak pohon. Bunda mereka mengehembuskan nafas terakhir saat itu juga karena kehabisan darah, dan Devito harus kehilangan penglihatannya setelah koma selama seminggu. Sedangkan, Devta hanya mengalami luka ringan di bagian kepalanya.


Hal itulah yang membuat Devta merasa bersalah hingga saat ini. Bahkan Ayahnya pun juga ikut menyalahkannya atas kecelakaan itu. Sampai-sampai, Ayahnya sudah tidak mau peduli pada Devta. Untung saja, masih ada Oma yang masih mau menerima Devta dan menganggap semua ini hanya kecelakaan, bukan kesalahan Devita.

“Dev... Dicariin kemana-mana, di sini ternyata...”sebuah suara halus dan lembut masuk ke dalam rongga telinga Devta saat Devta tengah asyik mengingat lembaran masa kecilnya.
“Din... Ada apa?”tanya Devta saat tau bahwa pemilik suara itu adalah Dinda, sahabatnya dari kecil, sahabat Devito juga.
“Turun yuk, makan siang. Oma udah nungguin tuh di ruang makan...”jawab Devta.

Tanpa menjawab Dinda, Devta melompat dari tempat ia duduk. Dinda sempat memekik takut saat Devta melakukan hal itu. Ouh, yang benar saja, rumah pohon ini cukup tinggi dan berpotensi membuat seseorang gegar otak karena jatuh dari atas. Melihat ekspresi Dinda yang ketakutan itu, Devta tersenyum nakal, lalu mengacak rambut Dinda dengan gemas.

“DEVTA! RAMBUT AKU BERANTAKAN TAUUU!”teriak Dinda kesal.
“TETEP CANTIK KOK!”balas Devta dari kejauhan.

Dinda tersenyum mendengar balasan Devta itu. Dasar Devta, Selalu bisa membuatnya merasa senang. Memang Devta sering mengacak rambutnya hingga berantakan, tapi sesering itu juga, Devta akan memujinya cantik. Dan itu cukup membuat Dinda merasakan jantungnya berdegup sepuluh kali lebih cepat dari biasanya. Ouh, Dinda jatuh cinta pada devta!

***
Makan siang sudah selesai, Devta memutuskan untuk mengajak Dinda keluar untuk jalan-jalan. Ia merasa perlu sedikit refreshing saat ini. Dan dengan senang hati, Dinda mengiyakan permintaan Devta. Mereka pun berkeliling kota Surabaya dan menikmati suasana ramai Surabaya di siang hari. Mereka juga berkeliling di Tunjungan Plaza, entah apa yang mereka cari.

“Din, topi ini bagus ga?”tanya Devta saat mereka memasuki sebuah toko aksesoris yang menjadi langganan mereka dari dulu.
“Bagus, Dev. Tapi kalo buat kamu ga cocok deh. Kamu tuh ga cocok kalo pake topi...”jawab Dinda.
“Bukan buat aku kok Din, tapi buat Devito. Bentar lagi kan dia ulang taun...”balas Devta.

Dinda tercengang, ia serasa tertohok karena melupakan ulang tahun adik Devta itu. “Oh My God! Kenapa aku bisa lupa ya sama ulang taun Devito... Aduuuh, Dinda, bego banget sih...”gerutu Dindaa.

“Yaelah, ini gimana, bagus ga? Cocok kan buat Devito?”tanya Devta.
“Iya, cocok, cocok banget. Devito juga suka warna ungu kan?”balas Dinda.
Devta terdiam, ia menatap topi yang ia pegang. “Tapi Devito ga bisa liat topi ini...”
Dinda dapat melihat tatapan Devta yang berubah sayu. Dinda menepuk bahu Devta pelan. Ia mencoba menyalurkan
energi semangat pada Devta. “Dev... Devito pasti bisa liat topi ini kok, suatu hari nanti. Pasti”
“Hanya kalo dia dapet donor mata yang cocok dengannya.”Mata Devta mulai berkaca-kaca, mengingat hingga saat ini, Devito belum mendapat donor mata yang cocok.
“Ah, udah. Napa jadi mellow gini sih, Dev? Udah yuk, kamu bayar tuh topinya, abis itu kita pulang. Kamu pasti capek banget. Muka kamu sampe pucet gitu.”ucap Dinda.

Devta mengangguk. Perkataan Dinda memang benar, dia benar-benar merasa capek saat ini. entah karena apa. Ia juga merasa kepalanya terasa agak pening. Tidak mungkin karena ia tidak makan siang. Devta pun berjalan menuju kasir dan membayar topi itu. Sehabis membayar topi itu, Devta dan Dinda pun berjalan menuju basemant untuk pulang.

Tapi saat sampai basemant, tiba-tiba, pening di kepala Devta makin menjadi. Pandangan mata Devta tiba-tiba memburam, dan lama kelamaan menjadi gelap. Tubuhnya terasa lemas dan seperti melayang. Devta terjatuh pingsan. Dinda sempat memekik kaget, tapi ia langsung membawa Devta menuju mobil. Untungnya, dia bisa membawa mobil.

Dinda tidak membawa Devta pulang ke rumah, tapi ia membawanya menuju rumah sakit. Perasaan takut yang mengelilingi hatinya, membuat dia tidak bisa membawa Devta pulang ke rumah saat ini. Devta harus dibawa ke rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, Devta langsung diperiksa oleh dokter, Dinda hanya bisa menunggu di depan ruang UGD sambil menghubungi Oma Devta.

“Dinda...” Dinda mendengar namanya lima belas menit setelah ia menelpon Oma. Ia tau, itu suara Oma.
Dinda menoleh. “Oma...”
“Devta kenapa, sayang?”tanya Oma saat sudah tiba di
depan Dinda.

To be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar